Kasus Kekerasan di Sekolah: Kemendikbud Tangani 127, Terbanyak akibat Perundungan


Jakarta – Hingga kini, Chatarina menuturkan masih banyak anak Indonesia yang berisiko mengalami berbagai bentuk kekerasan di sekolah. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Asesmen Nasional, angkanya mencapai 20 persen sampai 30 persen.

Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) Chatarina Muliana Girsang mencatat ada 127 kasus kekerasan di sekolah yang ditangani sepanjang 2021 sampai 2023. Dari jumlah itu, kasus terbanyak berkaitan dengan perundungan.

Dari 127 kasus tersebut, Chatarina merinci 50 kasus diantaranya mengenai kekerasan seksual, yakni terjadi di jenjang SMP, SMA dan SMK sebanyak 22 kasus. Tercatat juga terjadi di jenjang SD sebanyak 28 kasus.

Kemudian sebanyak 52 kasus mengenai perundungan. Rinciannya, sebanyak 32 kasus di tingkat SMP, SMA, dan SMK serta 20 kasus di tingkat SD.

Sedangkan 25 kasus dari 127 kasus terkait dengan intoleransi. Rinciannya, di jenjang SMP, SMA dan SMK sebanyak 14 kasus, sedangkan di jenjang SD sebanyak 11 kasus.

“Total 127 kasus dengan rincian tujuh kasus pada 2021, 68 kasus pada 2022 dan 52 kasus pada tahun ini,” kata Chatarina dalam Raker bersama Komisi X DPR RI di Jakarta, Selasa, 7 November 2023.

 

Upaya Kemendikbud

Dalam forum yang sama, Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan keseriusannya untuk menangani kasus kekerasan di sekolah. Salah satu langkah yang dilakukan adalah penerbitan Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan Dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan yang diundangkan pada 4 Agustus 2023.

Permendikbud itu menggantikan aturan lama, yaitu Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.

Dalam Permendikbudristek baru, terdapat beberapa hal yang diubah. Diantaranya mengenai sasaran, definisi dan bentuk kekerasan.

Sebagai contoh, tugas dari kelompok tim satgas yang diatur dalam Permendikbud lama tidak mengatur lebih rigit mekanisme pencegahan dan penanganannya. Sedangkan dalam Permendikbudristek baru memperjelas sasaran, yaitu termasuk peserta didik dan tenaga pendidik sekaligus memperjelas definisi dari bentuk-bentuk kekerasan, yaitu perundungan, kekerasan seksual, intoleransi dan diskriminasi.

Permendikbud baru juga memuat lebih rinci mengenai pembentukan tim penanganan di satuan pendidikan dan pemerintah daerah. Tim yang dalam aturan lama bersifat ad hoc, kini dalam aturan baru bersifat permanen dengan melibatkan dinas terkait dan unsur dari masyarakat.

Selain itu, mekanisme pencegahan  diatur lebih struktur dengan peran masing-masing dari tim satgas, baik di daerah maupun tim penanganan pencegahan kekerasan pada sekolah. “Juga diatur alur kewenangan dan koordinasi dalam penanganan kekerasan. Jika tidak dilaksanakan oleh tim sekolah maka akan dilaksanakan oleh satgas di daerah,” kata Chatarina.

Tinggalkan Balasan